Keberhasilan operasi cangkok hati (transplantasi hati) dengan melibatkan donor hidup (living donor) berpeluang lebih besar menyelamatkan pasien 80 hingga 90 persen. Namun, di Indonesia donor hidup cangkok hati masih sulit dicari karena berbagai kondisi.
Sejak dilakukan di Tiongkok pada 1989, cangkok hati dengan donor hidup berhasil cukup baik. Beberapa rumah sakit di Indonesia mulai mengadopsi skill dan pengetahuan dari rumah sakit asing yang lebih berpengalaman.
Sebetulnya, tidak perlu terbang ke Singapura atau China untuk mengganti hati. Toh di Indonesia, kini sudah menyediakan layanan pencangkokan hati sejak 2006. Masalahnya, donor hati di Indonesia masih menjadi kendala besar bagi pasien sirosis (pengerasan hati) dan hepatoma (kanker hati) yang ingin transplantasi organ.
Menurut dokter ahli bedah transplantasi hati Rumah Sakit Puri Indah Hermansyur Kartowisastro Sp B (KBD), mendapatkan donor hidup cangkok hati tidaklah mudah seperti organ ginjal. Ketakutan mendonorkan hati itu wajar. “Orang bisa hidup dengan satu ginjal, tetapi hati? Hati cuma ada satu, tidak dapat diberikan utuh kepada orang lain,” kata dr. Herman begitu ia disapa.
Pada 2006, dokter Indonesia pernah melakukan operasi cangkok hati pertama dengan donor hidup. Pasien adalah bayi yang mendapatkan 20 persen donor hati dari sang ibu. Operasi berhasil, namun bayi tak dapat melewati masa-masa kritis hingga akhirnya meninggal.
Tahun 2008, kedokteran Indonesia juga mencatat pasien dewasa pertama yang menjalani operasi cangkok hati tidak dapat bertahan hidup karena efek komplikasi organ paru-paru. Tiga hari post operasi pasien meninggal dunia.
Tentu kejadian itu menjadi catatan medis sekaligus motivasi tim dokter Indonesia berhasil mencangkok hati dua pasien di rumah sakit dalam negeri. Tim dokter dari Rumah Sakit Puri Indah, RSCM, dan Fakultas Kedokteran UI bekerjasama dengan The First Affiliated Hospital Zhejiang University, China, berhasil menyelesaikan dua operasi cangkok hati dengan donor hidup.
Tim antara lain beranggotakan dokter bedah digestive, dokter bedah
vaskuler, dokter hepatologi penyakit dalam, dan dokter gastroenterologi penyakit dalam. Tim juga dilengkapi dengan dokter PICU, dokter anestesi dan intensif care, dokter radiologi, dokter ahli patologi anatomi, dokter ahli patologi klinis, dokter farmakologgi, dokter spesialis kejiwaan, dan dokter gizi klinis serta perawat.
Selama ini kita mengenal donor cadaveric, yaitu donor organ dari orang yang sudah meninggal. “Bukan mayat. Secara fungsi otak ia sudah meninggal, tetapi darahnya masih mengalir,” ujar Herman.
Pencangkokan hati adalah jalan terakhir yang tentu saja diputuskan si pasien. Pihak keluarga pasienlah yang bertugas mencari pendonor hati misalnya, dari anggota keluarga sendiri, atau orang lain. Herman mengatakan, rumah sakit wajib menjaga identitas pendonor atas permintaan keluarga.
Banyak kasus pasien penderita penyakit hati terlalu lama menunggu donor yang mau, hingga dalam perjalanannya penyakit menjalar semakin parah, mula-mula hepatitis B/C, sirosis, lalu kanker hati. Di Amerika, China, dan Jepang misalnya, sudah mengembangkan cangkok hati dengan donor hidup.
Herman yang juga ketua tim dokter transplantasi hati mengatakan, kebutuhan donor hati di Indonesia sangat tinggi, sedangkan permintaan kian banyak. Padahal, meski operasi bersamaan, keselamatan pasien dan pendonor tetap menjadi prioritas.
Hati pendonor diambil sebagian dan didonorkan pada yang sakit. Sementara si penerima donor, pengangkatkan organ hati harus seluruhnya karena sudah tidak berfungsi dengan baik. Untuk itu operasi pengangkatan hati dari pendonor dengan penerima hati juga harus dilakukan bersamaan dalam waktu sama.
“Hati pendonor akan tumbuh dalam waktu 6 bulan sekitar 60-80 persen, dan kembali ke ukuran semula dalam 1 tahun,” tuturnya. Itulah sebabnya, transplantasi hati di Indonesia terhambat.
Pengetahuan, pengalaman, dan peralatan masih bisa dibeli sekalipun dengan harga selangit. Tetapi, sukar menemukan donor hidup organ hati. “Donor dari anggota keluargapun belum tentu cocok, kalau diameter hati pasien 8 cm, harus dicari donor yang sama,” kata Herman.
Mereka Sukses Mengganti Hati
Adalah Subagijo dan Nidjat Ibrahim, pasien hepatoma dan sirosis tingkat akhir yang berhasil menjalani operasi cangkok hati di RS Puri Indah itu. Satu bulan lebih pasca operasi besar itu, kondisi mereka kini 100 persen sehat.
Subagijo melakukan operasi pada 14 Desember 2010, sementara Nidjat pada 17 Desember 2010. Porses opreasi keduanya memakan waktu yang sama yakni 13 jam.
“Kedua pasien transplantasi hati ini sudah 100 persen sehat. Jika
dilakukan check up 100 lolos,” kata dr. Tjhang Supardjo, MD, MSurg, FCCS, anggota tim transplantasi hati RS Puri Indah. Sebenarnya ada pengobatan lain hepatoma seperti operasi (potong tumor), intervensi (memasukkan obat ke tumor) atau ablasi (membakar jaringan tumor secara lokal) guna mencegah penyebaran penyakit.
Kondisi keduanya sudah sangat parah dan tidak bisa ditolong dengan pengobatan lain. “Sirosis yang diderita sudah dalam kondisi parah, dan ibu Nidjat kondisinya bahkan sudah terkapar, perut buncit, dan kesadarannya makin menurun,” kata dokter lulusan hepato-pancreo-bilier di Zhejiang Hospital, China.
Bagi Subagijo sejak divonis dokter mengidap hepatoma tahun 1984, ia tak pernah berhenti ingin sembuh. Hanya dua minggu pasca operasi cangkok hati, ia merasa hidup kembali.
“Tak ada masalah, pesan saya jangan jauh-jauh ke luar negeri cari dokter bagus, di sini (Indonesia) saja,” ungkap wiraswasta asal Surabaya ini. Demikan pula Nidjat, semangatnya tak lekas pupus untuk bebas dari sakit sirosis sejak 2001.
Berbagai cara sudah ia tempuh, termasuk bolak-balik ke luar negeri selama 10 tahun tanpa hasil. RS Penang, Singapura, sampai pengobatan secara herbal di Purwakarta sudah ia jajal. “Saya nggak kuat dengan herbal cuma dua minggu, makan buah sayur terus,” kata dosen tetap Fakultas Ekonomi Universitas Trisakti ini.
Ketika dokter Tjang, yang juga satu almamater Trisakti, menawarkan program kerjasama Indonesia dan China dalam operasi cangkok hati, Nidjat langsung mengamini. “Pokoknya semangat ingin sembuh. Karena itu sangat memicu kita. Jangan mikir nanti biaya bagaimana, karena itu bisa dicari,” pesannya.
Soal biaya, bisa dibayangkan, operasi transplantasi organ di Indonesia menghabiskan dana sekitar 1 milyar rupiah. Di RS Puri Indah, biaya itu sudah termasuk perawatan selama satu bulan. Tidak termasuk kontrol dan perawatan berkala.
“Pada prinsipnya, kita pilih apapun yang terbaik untuk pasien. Kita cari titik mana saja bisa ada penghematan,” kata Direktur RS Puri Indah Yanwar Hadiyanto. Kendati dikelola swasta, RS Puri Indah tetap mengusahakan biaya di bawah 1 milyar dengan kualitas sama.
“Benefit buat kami adalah jam terbang,” ungkapnya. Justru, bila operasi cangkok hati di RS Penang, Singapura, habis biaya 3-4 milyar rupiah. Dua kali lipat dari harga di
“The earliest is better,” saran Yanwar. Semakin cepat pasien mendeteksi suatu penyakit, maka ongkos pengobatan akan relatif murah. Pencegahan memang selalu lebih baik.
0 komentar:
Posting Komentar